Thursday, August 14, 2008

[ Cyber War ] Perang Asimetris, Bentuk Perang Baru


Dewan Riset Nasional (DRN)
Komisi Teknis Pertahanan dan Keamanan mengadakan loka karya berjudul, Suatu Pemikiran tentang Perang Asimetris (Asymetric Warfare), di Jakarta, Kamis (10/7). Loka karya ini bertujuan untuk menyosialisasikan pemahaman mengenai perang saimetris kepada masyarakat.


Loka Karya ini menghadirkan tiga pembicara, yaitu, pengajar dari FISIP UI Tamrin A Tamagola, alumni Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Fayakun Andriadi, dan Kepala Pusat Teknologi Elektronika Dirgantara Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Toto Mamanto Kadri.

Dalam paparannya, DRN menjelaskan, perang asimetris adalah suatu model peperangan yang dikembangkan dari cara berpikir yang tidak lazim, dan di luar aturan peperangan yang berlaku, dengan spektrum perang yang sangat luas dan mencakup aspek-aspek astagatra (perpaduan antara trigatra -geografi, demografi, dan sumber daya alam, dan pancagatra -ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Perang asimetri selalu melibatkan peperangan antara dua aktor atau lebih, dengan ciri menonjol dari kekuatan yang tidak seimbang.

Indonesia sendiri sebenarnya memiliki daftar panjang dijadikan sasaran perang asimetri. Sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Indonesia terus melakukan perang asimetri terhadap pendudukan Belanda hingga 1950, Gerakan Aceh Merdeka (GAM), krisis Timor-Timur, Gerakan Pengacau Keamanan di Papua, dan lainnya.

Tamrin, dalam presentasinya berjudul "Perang Asimetris, Tanggapan dan Penajaman", membahas mengenai ancaman asimetris di bidang sosial-budaya dan agama.

Yang pertama adalah tidak meratanya persebaran suku-suku di Indonesia. Seperti diketahui, di Indonesia terdapat 653 suku bangsa. Akan tetapi dari Sumatra hingga Jawa (kecuali Sumatra Selatan) hanya terdapat beberapa suku mayoritas. Sebaliknya di Kalimantan, Su lawesi, dan Papua, banyak sekali suku bangsa yang menghuni satu kota. Bahkan setengan dari jumlah suku bangsa berada di Papua. Ini dapat menjadi ancaman disintegrasi.

Ancaman lainnya, bangunan keras: demokratisasi, desentralisasi, dan pemekaran wilayah. Desentralisasi pada saat ini, kata Tamrin, sudah kebablasan. Pemekaran juga luar biasa. Di Lombok misalnya, dari sembilan menjadi 18 kelurahan. Banyak sekali gubernur-gubernur yang tidak berkinerja.

Yang terakhir adalah bangunan lunak: kebangsaan, konstitusi, negara dan agama. Menurut Manuel Castells di dalam bukunya, The Power of Identity: The Information Age Economy, Society and Culture, kata Tamrin, dahulu negara adalah pihak satu-satunya yan g memiliki kekuasaan untuk mengatur dan memaksa. Namun sekarang, negara mendapat saingan kelompok yang bahkan membuat negara tidak berkutik, yaitu terorisme lokal, fundamentalis agama dan suku.

Fayakhun Andriadi, yang membawakan presentasi "Asymetric Warfare Strategy", memaparkan mengenai pengaruh teknologi informasi dan komunikasi terhadap perang asimetris. Menurut dia, teknologi informasi dan komunikasi semakin meningkat, dan menduduki peranan utama dalam kehidupan sehari-hari. Karenanya, teknologi informasi telah menjadi sesuatu yang bernilai sekaligus dapat menjadi senjata perusak.

"Sekarang ini, lini pertempuan akan bergeser ke lini informasi. Bombardir informasi akan membentuk citra yang tertanam di kawasan lawan dan akan melemahkan posisi lawan," katanya.

Ia mencontohkan ketika Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet terlibat perang dingin yang memuncak di tahun 1980-an. Sungguh naif jika dikatakan Soviet hancur secara alamiah. Justru, AS melancarkan asymetric warfare terhadap Soviet. Amerika dan negara-negara barat pandai memainkan strateginya dalam perang informasi yang lebih bersifat psychological warfare. Secara ideologi, kemunculan glasnost dan perestroika sudah berhasil menyerang ideologis komunis yang telah lama menjadi perekat kesatuan Soviet.

Pembicara terakhir, Toto Marnanto Kadri, memaparkan pengaruh satelit terhadap perang asimetris. Menurut dia, satelit dapat digunakan untuk kepentingan pertahanan dan keamanan, dan memiliki fungsi untuk mengambil potret sinoptik pada daerah konflik, jaringan informasi, pusat komando, pendeteksi serangan misil balistik asing. [ kompas ]


China dan India Terlibat Perang Cyber



New Delhi - Setelah menyerbu jaringan komputer negara-negara maju seperti Amerika Serikat atau Inggris, serangan cyber China kini beralih target ke negeri sesama Asia, India.

Setidaknya, itulah yang dinyatakan berbagai media India mengutip keterangan pejabat India. Menurut laporan, jaringan komputer swasta maupun pemerintah India hampir tiap hari disebu cracker China. Demikian pula dengan Kedutaan India di Beijing.

Intelijen India menyatakan, China memang ingin mendapatkan berbagai informasi dan data penting, misalnya terkait software India yang dikembangkan untuk militer.

Menurut Chairman Central Security Commission India, Suresh Mehta, serangan cracker semacam ini telah diantisipasi. Namun seperti dikutip detikINET dari The Times of India, Selasa (6/5/2008), serangan China tak bisa dipandang remeh. Apalagi tentara China punya unit cyber khusus yang dibekali teknologi mumpuni.

Lebih runyam lagi, software produksi China cukup populer di India sehingga boleh dikata, China cukup tahu sebagian seluk beluk jaringan komputer India. Untuk itu, India pun disarankan memperketat keamanan cyber.

"India belum punya hukum keamanan cyber memadai. Kita memerlukan kebijakan pemerintah dalam menangkal serangan cyber," tutur Pawan Duggal, pakar keamanan cyber India.

Sumber : detikinet

Jaringan Komputer Pentagon di-Hack, AS-China "Perang Cyber"?


Jaringan
komputer Departemen Pertahanan AS (Pentagon) diserang hacker. Namun sampai saat ini, belum diketahui siapa pelaku serangan itu, setelah secara resmi pemerintah China membantah laporan-laporan yang menyebutkan bahwa militer negeri Tirai Bambu itu sebagai pelakunya.

Hari Selasa (4/9), para pejabat Pentagon mengakui bahwa para hacker berhasil menyusup ke sistem email departemen pertahanan AS itu. Juru bicara Pentagon juga menyatakan kesulitan untuk mengidentifikasi hacker yang mengganggu jaringan komputer mereka dan menolak berkomentar tentang kemungkinan keterlibatan People's Liberation Army (PLA) China dalam kasus tersebut.

Juru bicara kementerian luar negeri China di Beizing Jiang Yu menyebut tuduhan itu sebagai "tuduhan liar" dan "menunjukkan mentalitas Perang Dingin. "

China, kata Jiang Yu, menentang segala bentuk kejahatan cyber dan China sendiri pernah menjadi korban para hacker.

Isu yang menghangat belakangan ini memang menyebutkan bahwa AS dan China saling memata-matai dengan menggunakan kecanggihan teknologi internet.

Laporan Financial Times, mengutip pernyataan sejumlah pejabat dan mantan pejabat AS yang menuding PLA berada di balik serangan tersebut. Mereka menyebutnya sebagai serangan paling sukses yang pernah dialami oleh Pentagon. Para pejabat itu juga mengatakan, PLA bukan hanya mengincar jaringan komputer milik lembaga-lembaga penting di AS, tapi juga di Inggris dan Jerman.

Surat kabar terbitan Inggris Guardian edisi Rabu pekan kemarin, mengutip pernyataan sejumlah pejabat pemerintah Inggris yang mengatakan bahwa para hacker yang memiliki link ke PLA setahn lalu juga menyerang jaringan komputer beberapa departemen pemerintahan Inggris. Di antaranya yang menjadi korban serangan adalah jaringan komputer kementerian luar negeri dan jaringan komputer parlemen dan dewan perwakilan rakyat Inggris.

Lebih lanjut Pentagon mengatakan, serangan hacker tidak mengancam sistem jaringan yang menyimpan data-data rahasia, meskipun akibat serangan itu Pentagon harus memperbaiki sistem yang terkena serangan selama tiga minggu.

Menurut Pentagon, setiap hari ada ratusan hacker yang berusaha merusak sistem komputer mereka. Dari hasil studi Pentagon yang dirilis awal tahun kemarin, disebutkan bahwa militer China menjadikan serangan ke jaringan komputer sebagai senjata yang digunakannya untuk melemahkan kekuatan musuh. (ln/aljz)

Hacker Pertama 'Gugur' di Perang Cyber Rusia-Estonia


Estonia
- Jika perang sungguhan melibatkan tentara militer, perang cyber juga melibatkan kepintaran para 'tentara' hacker. Dalam perang cyber yang melibatkan Rusia dan Estonia, hacker pertama pun dilaporkan 'gugur' di medan laga lantaran tertangkap dan dijatuhi hukuman.

Hacker beretnis Rusia ini dihukum berkaitan dengan adanya serangan cyber yang melanda Estonia tahun lalu. Serangan cyber ini diduga kuat turut didalangi oleh Rusia, mantan penjajah Estonia pada masa lalu.

"Dmitri Galushkevic adalah hacker pertama yang dihukum karena melancarkan serangan cyber besar-besaran pada situs-situs Estonia," ungkap Gerrit Maesalu, juru bicara kejaksaan di utara Estonia, seperti dikutip detikINET dari AFP, Kamis (24/1/2008).

Serangan Galushkevic ini hanyalah bagian dari serangan berskala besar yang melanda Estonia itu untuk memprotes kebijakan Perdana Menteri Andrus Ansip. Protes terjadi karena Ansip membongkar sebuah monumen tentara Rusia dari ibu kota Estonia, Stallin.

Sejak patung yang dianggap bernilai penting bagi orang Rusia ini dipindahkan, hubungan antara Estonia dan Rusia terus memburuk. Bahkan diduga kuat, Rusia turut menjadi dalang serangan cyber ke Estonia tersebut berkenaan dengan kejadian ini.

Menurut investigasi pihak Estonia, kebanyakan tersangka dipercaya ada di Rusia. Bahkan, komputer pemerintah Rusia di Kremlin diduga jadi sumber serangan pada beberapa server Estonia. Namun pihak Rusia membantah terlibat pada serangan ke Estonia ini.

AS Makin Galak di Perang Cyber


Washington - Perang di dunia maya tampaknya bakalan berlangsung sengit. Negara-negara di dunia mulai membekali militernya dengan latihan untuk mengantisipasi pertempuran di dunia maya.

Angkatan Udara Amerika Serikat (US Air Force) bahkan telah menyiapkan sebuah Cyber Command, sebagai bagian dari perluasan misi untuk mempersiapkan perang di dunia maya. Namun hingga kini lokasi Cyber Command tersebut belum diungkapkan.

Perubahan ini dipicu adanya gelombang penyerangan yang berasal dari Cina terhadap negara-negara barat. Selain itu AS juga memperhatikan kasus serangan cyber ke Estonia di tengah perselisihan dengan Rusia pada Mei 2007.

Sekretaris Air Force, Michael Wynne mengumumkan perintah baru ini di pangkalan militer Barksdale, Louisiana. Saat ini Barksdale adalah pusat operasi perang cyber Air Force. Sementara Cyber Command belum selesai, operasi cyber masih akan dipimpin oleh US 8th Air Force yang bermarkas di Barksdale.

Mayor Jenderal Charles Ickes mengatakan, Air Force Cyber Command akan melatih dan melengkapi pasukan untuk operasi global di dalam dan melalui ruang cyber. “Operasi ini akan terintegrasi penuh dengan operasi udara dan angkasa,” ujar Ickes, seperti dikutip detikINET dari AFP, Rabu (19/9/2007).

Militer Amerika telah mengakui potensi terjadinya perang cyber paling tidak sejak akhir 1990-an. Ketika itu, pemerintah AS mengakui telah meluncurkan serangan elektronik melawan Yugoslavia selama serangan udara NATO di Kosovo.

Dalam beberapa tahun ini, upaya AS di dunia maya makin meluas. Pasalnya pihak ‘lawan’, misalnya Cina, telah meningkatkan kemampuan mereka. Selain itu, jaringan terorisme Al-Qaeda diketahui memanfaatkan internet untuk merekrut pengikut dan melancarkan serangan.

“Sekarang kita harus beroperasi, tak hanya di darat, air, udara dan antariksa, tapi kita harus paham bahwa ranah virtual adalah bagian dari perang yang membutuhkan perhatian khusus dan kewaspadaan. Bukan hanya wilayah untuk diawasi, ini adalah wilayah perang,” tutur John Abizaid, mantan panglima AS di Timur Tengah dalam konferensi di Center for Strategic dan International Studies.

Sebuah laporan militer AS menyebutkan Peoples Liberation Army (angkatan bersenjata Cina) mulai menggunakan operasi jaringan komputer dalam latihan perang sejak tahun 2005. Hal itu terutama untuk serangan pertama melawan jaringan musuh.

Sumber : DETIKINET

Perang Cyber Memanas, Indonesia Adem Ayem


Perang cyber antara berbagai negara di dunia diyakini sudah mulai berkecamuk. Paling tidak, negara-negara besar sudah menyiapkan diri menghadapi berbagai ancaman yang menghadang. Sedangkan Indonesia masih terlihat adem-ayem.

"Cyber warfare atau perang ofensif dalam perang informasi, terutama menyerang infrastruktur, misalnya serangan dan gangguan terhadap jaringan komputer, perang elektronika dengan wahana ruang angkasa dan sarana gelombang elektromagnetik, propaganda, penyesatan dan disinformasi, perang psikologi dan operasi psikologi melalui media massa," ujar Laksda Purn. Soebardo dari Lembaga Sandi Negara 1997 pada seminar Hari Kesadaran Keamanan Informasi di FMIPA UGM, Jumat (25/4/2008).

Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Australia atau Inggris bahkan telah membekali dirinya dengan kemampuan elektronik warfare. Sebagai contoh, Angkatan Udara Amerika Serikat membentuk Air Force Computer Emergency Response Team (AFCERT) yang bertugas untuk menangkal serangan virus dan penyadapan elektronik via jaringan LAN, WAN, atau World Wide Common System.

Pembentukan AFCERT memang tidak didasarkan pada paranoia belaka. Pasalnya komputer pusat Angkatan Udara AS itu pernah diserang cracker. Kemudian, dalam kasus lainnya, Pentagon pernah disadap oleh cracker remaja dari London.

"Serangan ini begitu rawan. Namun, sering kurang disadari oleh dinas-dinas pengaman elektronik di Indonesia. Padahal sudah selayaknya negara kita ini membentuk badan semacam AFCERT di Mabes TNI," tambah Soebardo.

Lebih lanjut Soebardo menandaskan potensi yang ada seperti BIN, Intel Laut dan Udara serta Lembaga Sandi Negara. Ketiga lembaga itu menurutnya dapat dikonsolidasikan untuk menangkal ancaman perang cyber.

dikutip dari detiknet.com

Cyber War Rusia vs Georgia


Jakarta
- Peperangan antara Rusia dan Georgia tak hanya terjadi di dunia nyata. Aksi serbu juga meluas di dunia maya.Salah satu sasaran yang menjadi target empuk adalah situs milik Presiden Georgia Mikheil Saakashvili yang beralamat di http://president.gov.ge/.

Bahkan, seperti dikutip detikINET dari chatmag, Rabu (13/8/2008), karena keberadaannya terancam oleh para dedemit maya, situs Saakashvili terpaksa harus diungsikan keluar dari negaranya dengan hengkang ke Amerika Serikat.Maksudnya, server situs ini dipindahkan ke perusahaan web hosting di Atlanta, AS, bernama Ga. Tak hanya situs Saakashvili, situs stasiun TV Georgia -- Rustavi2 -- juga menjadi target serangan yang memaksa mereka melakukan hal serupa dengan Saakashvili.

Sebelumnya, cracker yang punya hubungan kuat dengan jaringan Rusia diketahui mengacak-acak situs milik pemerintah dan pihak swasta Georgia. Jaringan kriminal program jahat bernama RBN (Russian Business Network) yang diduga dipengaruhi pemerintah Rusia dituding sebagai salah satu pelaku serangan. RBN sendiri telah lama ditengarai bertanggungjawab atas sejumlah serangan web.

http://www.detikinet.com/read/2008/08/13/073002/987556/323/situs-presiden-pun-terpaksa-diungsikan